Peran Ayah Dalam Mendidik Anak Menurut Islam
“Dan
(ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran
kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar,”
(QS.
Luqman (31) ayat 13).
AYAT di atas, bersama dengan ayat-ayat serupa
(al-Baqarah 132, Yusuf 67) bercerita tentang para ayah (Luqman, Nabi Ya’kub,
dan Nabi Ibrahim) yang sedang mendidik anak-anaknya. Ternyata, proses
pendidikan (dalam keluarga) yang digambarkan melalui al-Qur’an dilakukan oleh
para ayah. Tidak ada satu ayat pun yang memotret momen pendidikan dari para
ibu, kecuali adanya perintah menyusui—tanpa menafikan tugas amar ma’ruf nahi
mungkar yang sifatnya umum, baik untuk laki-laki maupun perempuan).
Dalam sebuah hadits, Rasulullah
Muhammad SAW pernah bersabda, “Seorang ayah yang mendidik anak-anaknya adalah
lebih baik daripada bersedekah sebesar 1 sa’ di jalan Allah.” Nabi pun
mencontohkan, bahkan ketika beliau sedang disibukkan dengan urusan menghadap
Allah SWT (shalat), beliau tidak menyuruh orang lain (atau kaum perempuan)
untuk menjaga kedua cucunya yang masih kanak-kanak, Hasan dan Husain. Bagi
Nabi, setiap waktu yang dilalui bersama kedua cucunya adalah kesempatan untuk
mendidik, termasuk ketika beliau sedang shalat.
Keterlibatan ayah dalam
pendidikan anak memenuhi gambaran sejarah Islam. Dalam buku ‘al-Muhaddithat;
The Women Scholars In Islam’, Mohammad Akram Nadwi memberikan banyak contoh
bagaimana para ulama kita menyediakan waktu untuk pendidikan putri-putrinya
sebagaimana mereka meluangkan waktu untuk tugas-tugas lainnya.
Abu Bakar Ahmad bin Kamil bin
Khalaf bin Syajarah al-Baghdadi (350H), misalnya, senantiasa memantau
pendidikan putrinya, Amat as-Salam (Ummu al-Fath, 390 H) di tengah kesibukannya
sebagai hakim. Diriwayatkan oleh al-‘Atiqi, hafalan hadits Amat as-Salam bahkan
selalu dicatat oleh sang ayah.
Syaikhul Islam Abu Abbas Ahmad
bin Abdillah al-Maghribi al-Fasi (560 H) juga tercatat mengajari putrinya 7
(tujuh) cara baca al-Qur’an, serta buku-buku hadits seperti Bukhari dan Muslim.
Walaupun ada yang mengatakan bahwa beliau terlalu sibuk dengan dakwah sehingga
tidak pernah punya waktu untuk putrinya, namun hal ini dibantah oleh Imam
al-Dhahabi yang mengatakan bahwa sulit dipercaya jika ada ulama yang
berperilaku seperti ini, sebab “perbuatan seperti ini merupakan keburukan yang
bertentangan dengan ajaran Nabi SAW. Sang teladan bagi umat manusia ini biasa
menggendong cucunya bahkan ketika sedang shalat.”
Contoh lain bisa kita dapati
dari riwayat pakar pendidikan Islam Ibnu Sahnun (256H). Disebutkannya, Hakim
Isa bin Miskin selalu memanggil dua putrinya setelah shalat Ashar untuk diajari
al-Qur’an dan ilmu pengetahuan lainnya. Demikian pula dengan Asad bin al-Furat,
panglima perang yang menaklukkan kota Sicily, ternyata juga mendidik sendiri
putrinya. Nama lain yang tercatat dalam sejarah adalah Syaikh al-Qurra, Abu
Dawud Sulayman bin Abi Qasim al-Andalusi (496H) dan Imam ‘Ala al-din
al-Samarqandi (539H).
Dari beberapa contoh di atas
bisa kita lihat, bahkan untuk pendidikan anak perempuan sekalipun, para ulama
tidak melemparkan tanggung jawab kepada istri-istrinya. Begitu intensifnya
peran ayah dalam pendidikan anak-anaknya, hingga tatkala menjelang sakaratul
maut pun, seorang ayah yang baik memastikan sejauh mana keberhasilannya dalam
mendidik anak-anaknya dengan bertanya kepada mereka, “Apa yang kamu sembah
sepeninggalku?” (maa ta’buduuna min ba’dii, al-Baqarah 133).
Sungguh berbeda dengan kondisi
masyarakat kita yang seakan-akan membebankan semua urusan anak-anak kepada para
istri, dan menghabiskan waktunya untuk urusan di luar rumah. Seorang dokter
yang sangat sibuk ternyata bisa dengan antusias mendidik para mahasiswa
kedokterannya dan bahkan berceramah keliling nusantara, namun, bagaimana
mungkin dia menjadi begitu loyo dan beralasan tidak punya waktu ketika harus
mendidik anak-anaknya sendiri?
Tidak mengherankan jika
kenakalan remaja dan kerusakan generasi menjadi kian parah, sebab, para ayah
hebat kita—pengacara terkenal, hakim agung, pengusaha sukses, termasuk beberapa
ustadz yang luar biasa dalam dakwah—terlalu sibuk mendidik orang lain dan
menyepelekan kewajiban untuk mendidik anak-anaknya.
Sumber:
http://muslimahzone.com/peran-ayah-dalam-mendidik-anak-menurut-islam/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar